Selasa, 01 Mei 2012

Pluralisme Dawam Rahardjo

Moh. Shofan


M. Dawam Rahardjo (sebut saja Mas Dawam) adalah tokoh multidimensi (cendekiawan, budayawan, pemikir Islam serta pegiat LSM), dan salah satu ikon intelektual Islam gelombang pertama di Indonesia. Ide-idenya yang segar dan kontroversial—bukan hanya pada pemikiran-pemikirannya tetapi juga tercermin di dalam cerpen-cerpennya (menyebut salah satunya “Anjing Yang Masuk Surga”)—kerap membuat geram banyak orang. Rekam jejak pemikirannya seakan tak mengenal lelah menyuarakan kebebasan, dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas. Tetapi, di situlah kekuatan dan kehebatan Mas Dawam, yakni pada ide-idenya yang cemerlang. Berbagai hinaan, cercaan, sampai pada batas-batas yang paling jauh, yakni pengkafiran, pemurtadan, semuanya dihadapinya dengan tenang dan sama sekali tak membuatnya surut, apalagi takut. Mas Dawam tetap mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, terutama berkaitan dengan isu-isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kritik Mas Dawam, terhadap golongan Islam konservatif bisa dibilang terlalu pedas. Keberaniannya membela hak-hak semacam penganut Ahmadiyah, Komunitas Eden, Kristen, membuatnya dimusuhi oleh kalangan konservatisme Islam, tetapi di sisi lain juga menempatkannya sebagai pemikir terdepan yang menentang fatwa haram MUI. Mas Dawam melalui pemikiran-pemikirannya yang progresif-liberal selalu menganjurkan kebebasan berpikir dan menjalankan pemikiran pluralisme.

Dalam suatu perbincangan saya dengan Mas Dawam di kantor LSAF, tentang masalah pluralisme, ia berpendapat, jika pluralisme itu dipahami bahwa semua agama itu benar, menurutnya, itu tidak menjadi masalah, tetapi juga tidak terlalu benar. Dikatakan tidak menjadi masalah, karena semua agama itu baik dan benar. Itulah, menurutnya, prinsip pluralisme. Keterangannya bagaimana? Kita sebagai orang Islam tentu saja mempunyai keyakinan bahwa ”sesungguhnya agama yang paling benar adalah Islam”. Hak kita untuk mengatakan itu, dan kita pun termasuk menganut kepercayaan itu. Namun, menurut Mas Dawam, hal ini hanya berlaku bagi kita sebagai muslim. Tetapi itu tidak berlaku bagi orang Kristen. Orang Kristen tidak bisa menerima pandangan semacam itu. Umat Islam tidak akan percaya bahwa Yesus Kristus atau Isa al-Masih itu disalib. Doktrin itu hanya berlaku bagi dan merupakan kepercayaan orang Kristen. Orang Budha punya kepercayaan lain. Orang Hindu juga demikian. Jadi, menurut Mas Dawam, suatu agama itu benar dan agama-agama yang lain salah, itu menurut kita, dan merupakan suatu pandangan yang subjektif. Setiap orang mengakui kebenaran agama menurut kepercayaan masing-masing.

Apa yang menjadi keyakinan Mas Dawam di atas, menurut saya, perlu ditindaklanjuti. Artinya, memahami pluralisme tidak sekadar memberikan tafsir secara kontekstual-historikal terhadap teks-teks al-Qur’an yang sejak awal turunnya sudah membawa gagasan-gagasan liberal. Menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual-liberal tidaklah cukup, manakala belum membawa implikasi pembebasan bagi kaum minoritas beragama. Mengharapkan wahyu al-Qur’an sebagai solusi dari semua persoalan kehidupan adalah mustahil jika mekanisme pencarian makna teks terampas dan ditundukkan ke dalam pembacaan yang subyektif. Subyektifitas dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual yang menjadikan teks diombang-ambing sesuai selera pembaca. Tentu saja teks tetap otoritatif dan pembaca menjadi otoriter, karena kebenaran hanya disajikan melalui satu pembacaan dengan mengabaikan pembacaan lainnya. Model pembacaan seperti ini bisa dikatakan kecerobohan karena telah melakukan ’pemerkosaan terhadap teks’. Sebuah pemahaman yang meyakini al-Qur’an sebagai solusi atas semua persoalan kehidupan seraya mengabaikan pendekatan dari berbagai lintas disiplin ilmu yang berkembang merupakan sebuah mitos yang harus dibongkar.

Dalam pandangan Mas Dawam, jika agama tidak ditafsir secara terus menerus, maka akan berakibat pada kematian pemikiran. Jika ahli pikirnya tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya, maka di situlah awal lonceng kematian agama dimulai. Kita harus berani mempertahankan kebebasan pada saat kebebasan sungguh-sungguh terancam. Sapere aude! “Beranilah berpikir sendiri!” Teks pendek itu terbukti menjadi soko guru dunia modern. Pencerahan—mengikuti Immanuel Kant—terjadi ketika manusia membebaskan diri dari selbst verschuldeten ummundigkeit, ketidak-dewasaan atau ketergantungan yang justru kita tumbuhkan sendiri dalam diri kita.

Mas Dawam, memang sosok yang unik, selalu bangga jika disebut sebagai “intelektual liberal”, tapi ia mengamalkannya secara konsisten lewat praktek berpikir bebas. Ia tidak mau menjadi orang munafik, sok suci dan semacamnya. Ia benci pada kemunafikan, pikiran plin-plan. Dawam selalu menekankan bahwa “pencerahan pemikiran” hanya bisa dicapai dengan keberanian berpikir bebas. Karenanya fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme dalam pandangan Mas Dawam, bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Umat Islam perlu menganut paham pluralisme, yaitu paham yang didasarkan pada kenyataan tentang pluralitas yang sudah menjadi kenyataan di dunia modern. Pluralisme menghormati perbedaan dan karena itu harus ada saling menghormati. Jika tidak maka yang lahir adalah konflik yang mendorong kepada tindakan kekerasan. Tanpa filsafat pluralisme, kebebasan beragama akan terancam.

20 April yang lalu, Mas Dawam genap telah berusia 70 Tahun. Namun, di usianya yang sudah semakin tua, ia tetap produktif menulis. Nalar intelektualnya tak pernah lelah menyuarakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Akhirnya, saya ucapkan selamat ulang tahun kepada Mas Dawam. Teruslah menulis, teruslah menyanyikan kebebasan di saat kebebasan benar-benar dibelenggu.

Dimuat di Koran Tempo, 28 April 2012

Senin, 09 Januari 2012

Agama dalam Bingkai Liberalisme dan Sekularisme

Moh. Shofan


Hormati hak asasi manusia
Karena itu fitrah manusia
Kita semua bebas memilih
Jalan hidup yang disukai
Tuhan pun tidak memaksakan
Apa yang hambanya lakukan

Terapkan demokrasi Pancasila
Sebagai landasan Negara kita
Janganlah suka memperkosa
Kebebasan warga Negara
Karena itu bertentangan dengan perikemanusiaan
(Lagu “Hak Asasi” karya Rhoma Irama)


Lagu Rhoma yang saya kutip di atas, seringkali mengingatkan saya akan makna kebebasan. Pada masanya, lagu ini sebenarnya dimaksudkan Rhoma untuk menyindir Golkar, yang saat itu banyak mengintimidasi orang. Rhoma melalui lagu-lagunya yang sarat dengan kritik sosial sempat diinterogasi pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI selama 11 tahun lamanya. Dalam ajaran Islam, kebebasan mendapat tempat yang tinggi dan terhormat. Kebebasan yang diajarkan Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Tanpa adanya sikap tanggungjawab tatanan masyarakat liberal tak akan pernah terwujud. Dalam liberalisme, penegakan hukum adalah sesuatu yang fundamental. Negara didirikan untuk melindungi hak-hak asasi itu.

Tahun 2011 merupakan tahun suram terkait dengan sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama. Dalam penelusuran The Wahid Institute (TWI), ditemukan telah terjadi peningkatan pelanggaran dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan selama tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010 lalu. Jika tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat menjadi 92 kasus. Dari 92 kasus pelanggaran itu, selama 2011, Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus. Ironisnya di penghujung tahun 2011, kita dikejutkan dengan peristiwa serupa (pelanggaran kebebasan beragama), yakni pembakaran pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, pada Kamis 29 Desember 2011—persisnya tiga hari jelang tahun baru 2012.

Sejumlah kasus-kasus tersebut telah menunjukkan kepada kita betapa pemerintah seolah-olah kehilangan tajinya dalam mempertahankan ke-Bhineka-an, dengan melakukan pembiaran terhadap “preman-preman” berjubah agama yang seringkali mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama. Pemerintah yang seharusnya berani menindak tegas pelaku kekerasan, justru malah diancam balik akan menggulingkan pemerintahan jika berani membubarkannya. Sungguh ironis !. Aturan kebebasan atau hak-hak sipil dalam menjamin perlindungan hukum dan kesempatan yang setara bagi semua warga Negara tanpa memandang ras, agama, serta jenis kelamin, hanyalah sekedar aturan. Pertanyaannya: Bagaimana negara bisa disebut demokratis, kalau aturan itu tidak ditegakkan dan justru dilanggarnya sendiri?

Kebebasan sipil bisa dijadikan parameter penting untuk mengukur apakah suatu negara itu demokratis atau tidak. Demokrasi sendiri memerlukan liberalisme dalam pengertian hak-hak sipil. Kalau hak-hak itu tidak ada, tidak ada demokrasi. Robert Dahl, mengingatkan bahwa kebebasan politik secara substansial dihargai lebih baik dalam sistem demokrasi ketimbang non-demokrasi. Demokrasi memberi kesempatan bagi warga negara untuk berekspresi apapun sampai kemudian terbukti bahwa ekspresinya melanggar kebebasan berekspresi orang lain. Itulah alasannya kenapa kemudian dibuat aturan-aturan hukum.

Dan kebebasan, memerlukan peranan negara juga. Kalau kebebasan tidak diimbangi dengan kekuasaan negara, ia menjadi anarki. Munculnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama adalah contoh konkrit tindakan anarki. Di Negara sekuler, seperti Inggris, misalnya, berbicara mengenai ateisme bukanlah hal yang tabu. Belum lama ini, bahkan ada kampanye mengenai ateisme. Kalangan ateis memasang iklan ateisme di bus yang berbunyi “Mungkin Tuhan tidak pernah ada. Karena itu jangan cemas lagi dan nikmatilah hidup”. Sebuah iklan yang tidak lazim tersebut tentu saja mengundang berbagai respon dari masyarakat Inggris. Iklan yang menggugah keyakinan ini, seperti dilansir New York Times, adalah sebagai koreksi bagi iklan-iklan yang bernada religius. Iklan tersebut mendapat tanggapan positif dari Gereja Methodist Inggris agar masyarakat membicarakan Tuhan. Bahkan, Ratu Elizabeth II, justru memberikan dukungannya. Sebagai pemimpin Negara sekular, dia mengatakan bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama sama bagusnya di Inggris.

Kebebasan tidak sama dengan anarkhi. Kebebasan berkeyakinan melekat pada eksistensi manusia dan karena itu manusia bertanggung jawab atas pilihannya, kebebasan itu adalah anugerah Tuhan yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya dan hanya manusia yang diberi kebebasan untuk memilih kepercayaan, keyakinan dan agama bagi dirinya. Kekhawatiran Khaled Abou el-Fadl, bahwa ketika sebuah kelompok atau individu sudah menganggap dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan, maka dengan mudah akan terjerumus pada tindakan yang bersifat otoriter, sangat patut kita renungkan. Di sinilah, pentingnya liberalisme sebagai sebuah strategi untuk menghadapi absolutisme dan totalitarianisme agama.

Liberalisme menginginkan kebebasan yang sebenarnya, maka cara satu-satunya adalah dengan membiarkan orang lain untuk memiliki kebebasan yang sama. Dengan demikian, ruang publik menjadi milik semua orang, tidak diklaim oleh sebuah agama atau sistem nilai tertentu. Demokrasi adalah cara bagaimana kita mengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat yang majemuk. Jadi prinsip besarnya adalah—meminjam istilah Ihsan Ali-Fauzi—bahwa agama jangan diistimewakan hanya karena dia agama, tetapi juga jangan segera dicurigai dengan alasan yang sama, yakni karena dia agama.
Oleh karena itu, perilaku tidak adil dan diskriminatif yang dilakukan oleh Negara terhadap kelompok agama tertentu merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal yang dilakukan pemerintah terhadap warga negara atau secara horizontal antara warga negara itu sendiri. Lontaran Abdullahi Ahmad An-Naim bahwa hukum sekular sebagai keniscayaan masyarakat Islam membangunkan kita sebagai muslim. Keniscayaan masyarakat Islam hidup dibawah negara berstatuskan sekular-liberal sebagaimana kata An-Naiem bukanlah fenomena baru.

Dalam rentang sejarah Islam: dari periode Islam-awal masa Nabi Muhammad, masa keempat Khalifah Rashidin, Masa dinasti Umayyah, Masa dinasti Abbasiyyah sampai masa dinasti Utsmaniyah dipenghujung abad ke-20 semuanya mengacu pada tatanan sekular. Sebuah sistem pemerintahan lahir dari usaha negosiasi, bagaimana seharusnya sistem pemerintahan dibentuk, sama-sekali jauh dari intervensi agama Islam (Islamic Law). Sekularisme dipandang sebagai sikap spirit dalam pergulatan meraih kebenaran. Hukum sekular mampu mensinergikan antara agama dan negara sebagai cita-cita bersama.

Sekularisasi adalah ketegangan yang terus-menerus untuk terlibat di dalam dunia realitas dan yang membantu kita menyebarluaskan apa yang kita yakini sebagai benar di ranah sosial. Dengan demikian problem sekularisasi menjadi terbuka bagi semua orang. Sekularisasi bagi seorang muslim merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran Islam yang turun ke bumi untuk kesejahteraan umat manusia sendiri.

Al-Andalus, Penaklukan, Perkembangan Dan Kejatuhan

Moh. Shofan


ANDALUSIA, daerah sebelah Selatan Spanyol—seperti yang baru saja kita lihat dalam film An Islamic History of Europe—memiliki gedung-gedung luar biasa indah untuk dikunjungi. Gedung-gedung cantik ini adalah perpaduan arsitektur Arab dan Kristen yang kental. Maklumlah, Spanyol pernah berada di bawah ajaran Katolik, kemudian dikuasai negeri Arab, hingga diambil alih lagi oleh Katolik. Selain bagunan masjid dan gereja, ada Alhambra, nama sebuah kompleks istana sekaligus benteng yang megah dari kekhalifahan bani ummayyah di Granada, Spanyol. Alhambra ini adalah simbolnya kota Granada. Alhambra ini dibangun pada masa pemerintahan dinasti Nasrid yakni pertengahan abad XIV, ketika Islam lagi dalam masa jaya-jayanya di Andalusia. Granada sebagai salah satu pusat budaya dan kota wisata terindah di Spain.
Vision of Al-Andalus salah satu tulisan Maria Rosa Menocal—seorang profesor bahasa Spanyol dan Portugis, Universitas Yale—dalam The Literature of Al-Andalus, (edited by MarĂ­a Rosa Menocal, Raymond P. Scheindlin, and Michael Sells) bukanlah tulisan yang mendeskripsikan detil-detil kemegahan peradaban Islam dengan panjang lebar. Tetapi, Maria memilih untuk lebih banyak bercerita tentang interaksi antara masyarakat Muslim, Yahudi dan Kristen di salah satu pusat peradaban Islam ketika itu: Andalusia. Tentang bagaimana Islam tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang majemuk, juga bagaimana Andalusia jadi potongan sejarah yang pantas dipelajari.
Di samping Vision of Al-Andalus, Maria juga menulis buku Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain. Sebuah karya besar yang disampaikan dalam tutur kisah yang mirip dengan novel bersambung. Pujian berhamburan atas karya ini. Karya ini menjadi panduan utama bagaimana melihat Islam di Spanyol. Masa keemasan yang telah membawa Islam sebagai ajaran yang terbuka, toleran dan melindungi minoritas. Masa gemilang yang membawa Islam dalam budaya pengetahuan yang mengagumkan sekaligus memengaruhi abad-abad berikutnya. Ini adalah pintu di mana Eropa menemukan kekayaan pengetahuan sebenarnya.
Semangat yang kini menjadi penting untuk dihidupkan kembali dan menjadi relevan untuk ditengok. Setelah banyak kecaman, tuduhan bahkan segala bentuk kesangsian atas Islam. Juga perlu dilihat setelah banyak gerakan Islam yang selalu membaca dan menempatkan masa lampau hanya dalam sudut pandang ’syariah’ dan ’khilafah’. Masa lampau ternyata lebih kaya ketimbang itu. Andalusia membuktikan masa lampau yang toleran, maju, terbuka dan penuh dengan karya-karya agung—saya akan uraikan seperlunya saja dalam paragraf-paragraf berikutnya.
Tulisan ini—berdasarkan uraian Maria dalam kedua buku tersebut—tidak dimaksudkan untuk mengkaji pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh cendekiawan Muslim, Kristen maupun Yahudi di Andalusia. Tetapi lebih bertujuan menceritakan bagaimana pemikiran tersebut dapat hidup rukun, saling mengisi dan berkembang. Cerita ini dibangun dengan mengisahkan kehidupan, pandangan, dan kenangan tokoh-tokoh pilihan Yahudi, Muslim dan Kristen akan tingginya peradaban di Andalusia. Sang penulis juga membangun kesimpulan tentang penyebab bangkit, berkembang, runtuh, dan menjalarnya peradaban Islam di Andalusia. Kesimpulan yang, sepertinya, dapat dipakai untuk pusat-pusat peradaban Islam yang lain.
Maria memulai kisah Andalusia dengan cerita pelarian Abd Al-Rahman. Abd Al-Rahman adalah satu-satunya pangeran Dinasti Umayyah yang selamat dari pembantaian Dinasti Abbasiyah pada 750 M di Rusafa, villa peristirahatan Keluarga Umayyah di dekat Damaskus (ibukota Umayyah). Penguasa baru Abbasiyah kemudian memindahkan ibukota kekhalifahan Islam ke Baghdad.
Abd Al-Rahman sendiri meneruskan pelariannya ke barat, hingga ke Semenanjung Iberia. Tanah ini kelak disebut Al-Andalus oleh orang-orang Arab, Sefarad oleh orang Yahudi, dan Hispania oleh orang-orang Kristen. Abd Al-Rahman datang ke tanah itu ketika suku bangsa Visigoth, yang berhasil merobohkan kekuasaan Romawi di sana, baru saja diusir oleh ekspedisi-ekspedisi awal tentara Islam dari Afrika Utara (yang paling awal dipimpin Thariq bin Ziyad).
Abd Al-Rahman kemudian mulai membangun propinsi paling barat kekhalifahan Islam ini, menghidupkan kembali kebesaran Umayyah sambil tetap mengakui kedaulatan Abbasiyah. Beliau membangun ibukota Umayyah yang baru, Kordoba (Qurthubah) dengan istana Madinah Az-Zahrah, yang dapat disetarakan dengan istana Versailles di Paris. Setelah menjadi pesaing kegemilangan Abbasiyah di Baghdad selama 200 tahun, barulah pada 950 M, Abd Al-Rahman III memproklamirkan Kordoba sebagai pusat pemerintahan Islam yang baru, menyusul doyongnya Dinasti Abbasiyah akibat proklamasi yang sama oleh kaum Syiah Fatimiyah di Tunisia.
Sebagaimana halnya Kaum Abbasiyah di Baghdad, Abd Al-Rahman dan khalifah-khalifah keturunannya di Kordoba sangat menghargai intelektualitas. Perdana Menteri Abd Al-Rahman III misalnya adalah Hasdai Ibn Shaprut, seorang Yahudi yang fasih berbahasa Arab, Latin, Ibrani dan Mozarabik (campuran Arab dan Spanyol). Hasdai inilah yang mengabarkan kegemilangan Kordoba sampai ke ujung utara Eropa, ke kekaisaran Romawi Suci di wilayah yang sekarang menjadi Jerman, bahkan terus ke Khazar (utara Asia). Bahkan setelah runtuhnya kekhalifahan Kordoba, para cendekiawan dan pahlawan Yahudi-Kristen tetap memegang peran kunci di taifah-taifah (city states) muslim yang saling bersaing menghidupkan kembali kejayaan Kordoba di Andalusia.
Tokoh-tokoh Yahudi-Kristen ini memiliki satu persamaan yang mencerminkan pandangan masyarakat non Muslim di Andalusia waktu itu: penguasaan dan kekaguman akan bahasa Arab, berikut bentuk-bentuk keindahan yang dibawanya. Bahasa Arab jauh melampaui kemampuan bahasa-bahasa yang ada di Andalusia waktu itu (bahasa Ibrani, Kastilia, Latin, dll.) dalam mengungkapkan cinta dan romantika kehidupan sehari-hari. Samuel Ibn Nagrilla bahkan terinspirasi untuk mengubah bahasa Ibrani yang semula hanya cocok untuk sembahyang Yahudi, menjadi mampu menjalin syair-syair cinta.
Lebih jauh lagi, kaum Muslim telah menerjemahkan, mengomentari dan mengembangkan khazanah pemikiran bangsa Yunani-Romawi dalam bahasa Arab. Lautan pengetahuan yang demikian luas itu, mau tidak mau mendorong mereka yang ingin meneguknya untuk mempelajari bahasa Arab. Kefasihan dan kecintaan akan bahasa Arab bukan hanya dimiliki kaum Yahudi-Kristen yang hidup dalam kekuasaan kekhalifahan Kordoba. Raja-raja Kastilia, salah satu kerajaan Kristen yang memusuhi Kordoba, pun diketahui sangat fasih berbahasa Arab. Di saat taifah-taifah di Andalusia satu per satu jatuh ke tangan Kastilia dan tentara Salib, proyek-proyek penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Latin dimulai. Salah satu proyek terbesar yang dikepalai Kepala Pendeta Gereja Cluny dari Paris, Peter Yang Mulia, adalah penerjemahan Al-Qur’an.
Kekaguman akan bahasa Arab membawa kekaguman pada budaya dan cara hidup masyarakat Muslim Andalusia. Diceritakan bahwa bangsa Normandia Kristen yang menaklukkan Sisilia, salah satu pulau taifah Muslim, perlahan-lahan terarabkan. Bangsa Normandia yang kelak menaklukkan Kepulauan Inggris ini, menyanyi, menari, berpakaian dan makan masakan Arab.
Kelak bahasa Arab menjadi sarana transfer peradaban tersebut ke dalam masyarakat Kristen Eropa, yang bersiap-siap bangkit menggantikan Peradaban Islam. Transfer peradaban ini dijalankan lewat penerjemahan kepustakaan Arab yang mengembangkan khazanah peradaban Yunani-Romawi. Transfer peradaban tersebut hanya mungkin terjadi berkat toleransi bangsa Arab Muslim terhadap kaum Yahudi dan Kristen Spanyol di Andalusia. Kaum Muslimin mengizinkan mereka menduduki posisi-posisi penting, belajar dan berdialog bersama mengembangkan khazanah yang telah digali oleh Kaum Muslimin.

Penaklukkan
Andalusia diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid Rahimahullah (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, dimana Umat Islam sebelumnya telah mengusasi Afrika Utara. Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair.
Kemenangan yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Untuk itu, Musa ibn Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq. Setelah Musa berjaya menakluk Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre. Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz Rahimahullah tahun 99 H/717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan.
Gelombang kedua terbesar dari penyerangan kaum Muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Sepanyol dan melebar jauh menjangkau Perancis Tengah dan bagian-bagian penting dari Itali. Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan.
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu keadaan yang terdapat di dalam negeri Sepanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, keadaan sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terpecahi ke beberapa negeri kecil. Penguasa Gothic pula bersikap intoleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bahagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristian. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara kejam.
Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakkan. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu kejayaan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri. Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Sepanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Sepanyol masih berada di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat.
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu keadaan yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya.Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.

Perkembangan Peradaban
Umat Islam di Spanyol telah mencapai kejayaan yang gemilang, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan juga dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, terutama dalam hal kemajuan intelektual. Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian membawa dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseteruan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, dengan Bani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran idea serta inovasi dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60 000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500 000 naskah. Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropah Kristian saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14 Universiti Paris baru memiliki sekitar 2 000 buku. Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60 000 buku tiap tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi. Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.

Kemajuan Intelektual
Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari :

Komuniti-komuniti Arab (Utara dan Selatan)
Al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam)
Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara)
Al-Shaqalibah (tentara bayaran yang dijual Jerman kepada penguasa Islam)
Yahudi
Kristian Muzareb yang berbudaya Arab
Kristian yang masih menentang kehadiran Islam

Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah, sastera, dan pembangunan fisik di Andalusia–Spanyol. Dengan adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulis-penulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990) memiliki sumbangan terhadap kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting lagi memberikan sumbangan bagi perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi asal Al-Andalus Maimonides (1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya di Maroko dan Mesir, karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa dengan keras di Al-Andalus. Ia mengarang buku Panduan bagi yang Bingung, dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga dijuluki “Musa baru” (nama depan Maimonides sendiri adalah Moses/Musa).

Falsafah
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat hebat dalam perbentangan sejarah Islam. Ia berperanan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosufi diimport dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universiti-universitinya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam pada ketika itu. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang falsafah dalam Islam, Ibn Rusyd dari Cordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan berhati-hati dalam menafsir masalah-masalah tentang keserasian falsafah dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al- Mujtahid.

Sains
IImu-ilmu kedoktoran, muzik, matematik, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Dialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong moden yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedoktoran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bahagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediteranian dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) belayar sehingga Tanzania, Parsi, India, Samudra Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib (1317-1374 M) menyusun Riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus falsafah sejarah. Semua sejarawan di atas tinggal di Spanyol, yang kemudian pindah ke Afrika adalah sebahagian nama-nama besar dalam bidang sains.

Fiqih
Dalam bidang fiqh, Sepanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziad ibn Abdurrahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam Ibn Abdurrahman. Ahli-ahli Fiqh lainnya diantaranya adalah Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.

Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan suara, Sepanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan ketokohan al-Hasan Ibn Nafi yang digelar Zaryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik lelaki maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.

Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa perantara dalam pemerintahan Islam di Sepanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan bukan Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menombor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang pakar dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Aljiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Ghamathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-’Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirahji Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.

Kemunduran dan Kejatuhan Andalus
Setelah kematian Al-Hakam pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan ratusan keluarga dibunuh kerana tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang. Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen.
Hutang budi masyarakat Eropa sangatlah besar pada Andalusia. Maria Rosa Menocal memberi gambaran:
...upaya masyarakat muslim selama dua abad untuk memahami dan mengadaptasi alam pikiran Yunani telah mengintegrasikan kembali pandangan dunia zaman klasik yang vital menjadi suatu kebudayaan yang hidup. Karya-karya ilmuwan Andalusia mengandung visi dasar yang dapat dicirikan sebagai upaya pembelaan terhadap kebebasan manusia. Keduanya memusatkan pada paradoks-paradoks agar iman dan akal dapat berkembang dalam domainnya masing-masing. Bukan iman atau akal yang harus menempati posisi lebih tinggi satu sama lain (karena hal ini pasti akan bermuara pada penindasan yang satu atas yang lain), melainkan bahwa akal dan iman memililiki tempat kedudukanya sendiri yang tidak dapat diganggu gugat dan cukup luas di atas satu meja tempat keduanya secara bersama-sama dapat menikmati jamuan kebenaran...

Sebuah kalimat yang meluncur dari seorang yang terpesona pada keagungan Andalusia. Ilham akan kebebasan dan kerakusan pada pengetahuan. Sesuatu yang kini mulai redup, hilang dan ditanggalkan. Jejak itu kian dipangkas oleh keinginan untuk kembali pada kemurnian dengan menutup semua jejak pengaruh kemajuan. Andalusia tumbang karena gerakan pemurnian itu. Pasukan Muslim sendiri yang merontokkan kekuasaan Andalusia. Iklim sekuler dalam kehidupan intelektual Andalusia dinilai sebagai pengkhianatan. Mereka lebih memilih menegakkan kekuasaan tidak dengan pena melainkan pedang. Dinasti Murabitun yang pada awalnya adalah paguyuban militer mengembangkan kekuasaan dengan membuang jauh-jauh tradisi intelektual. Masa itulah buku karya Al Ghazali dibakar habis. Kaum Yahudi bukan dilindungi tapi dimusuhi. Malahan mereka menumbangkan banyak raja kecil Yahudi. Keadaan tanpa kendali dan intrik yang terjadi dimana-mana mempercepat akhir kekuasaan Andalusia.
Ujung kisah ini diakhiri dengan kemenangan total raja Kristen, Ferdinand yang menikahi Isabella dari Kastilia yang mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang direncanakan secara hati-hati dan didanai dengan baik. Ferdinand dan Isabella kemudian meyakinkan Paus Siktus IV untuk menyatakan perang mereka sebagai perang suci. Mereka mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan akhirnya pengepungan tersebut berakhir diwaktu Sultan Granada Muhammad Abu Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana dan Kota Granada, Alhambra kepada kekuasaan Kristian, dan menandakan berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia atau Andalusia.
Andalusia adalah kenangan agung. Mengajak kita untuk memahami betapa beratnya beban kebesaran. Kemajuan pengetahuan, budaya dan ekonomi tidak saja memerlukan kebebasan. Dibutuhkan kekuasaan yang menanggalkan etos fanastisme dan keinginan untuk menyingkirkan yang lain. Kombinasi fanatisme Islam yang diwakili oleh orang Berber dari Afrika Utara-yang kemudian jadi pendiri dinasti Murabitun-bersama dengan pasukan ’salib’ yang keji, tanpa toleransi membawa kepunahan Andalusia. Kekuasaan itu saja tak cukup. Disambung periode fanatisme yang menggebu. Yakni kehadiran kaum al Muwahid-yang meruntuhkan dinasti Murabitun dan sama fanatiknya-yang bersamaan dengan pengaruh Paus Innocent III yang menggunakan kebijakan tangan besi. Sempurna sudahlah fanatisme yang berbalut agama itu hadir. Pedang, agama dan orang tolol berkomplot bersama. Andalusia memberi pelajaran penting. Kebebasan ternyata memiliki musuhnya sendiri. Andalusia membenarkan dalil kalau fanatisme bisa menyembul tiba-tiba dan meluap begitu saja. Jika fanatisme kemudian merangkul kekuasaan maka yang bubar pertama kali adalah kemajuan pengetahuan. Dasar pengetahuan dianggap tak berguna dan kebebasan dikatakan sebagai kemunduran iman.


Tulisan ini dibuat sebagai bahan diskusi dan nonton film An Islamic History of Europe, 18 Agustus 2011 di Yayasan Paramadina